Enter your email address:


Saatnya Belajar Menghargai Pram

Anita Retno Lestari

Seandainya tidak dibuang ke Pulau Buru dan diisolasi secara politis oleh rezim Orde Baru, apakah novel-novel tetralogi yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah bisa ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer?

Pertanyaan itu bukan pembelaan terhadap rezim Orde Baru yang sekian tahun membuang sastrawan besar Indonesia itu sebagai tahanan politik. Meski faktanya justru pembuangan merupakan "berkah" bagi Pram untuk melahirkan karya tetraloginya yang semakin mengibarkan namanya dalam kesusastraan dunia dan sempat memosisikannya sebagai calon peraih hadiah Nobel.

Pertanyaan itu layak diungkapkan agar semua pihak dapat menyadari betapa magma kreativitas bersastra-sastra tidak akan padam meski secara fisik sastrawan dibuang atau dijebloskan ke penjara. Dalam hal ini, data empiris menunjukkan betapa banyak sastrawan besar di berbagai negara juga bernasib seperti Pram justru semakin produktif di dalam penjara.

Lalu apa yang bisa dipelajari dari pengalaman Pram sebagai sastrawan dan tahanan politik? Jawabannya tentu cukup banyak. Misalnya, bagi sastrawan untuk produktif bisa justru membutuhkan tempat sunyi semacam penjara. Sebab, dalam proses kreatif, suasana sunyi sangat kondusif dibanding suasana gaduh.

Oleh karena itu, penguasa yang suka menjebloskan sastrawan ke sel tahanan atau penjara dapat dikatakan sebagai penguasa yang tidak cukup memahami proses kreatif. Penguasa demikian akan ketahuan ketololannya dan bahkan kebusukannya manakala muncul perubahan politik. Dan, itulah yang terjadi pada rezim Orde Baru yang ternyata sangat busuk.

Namun sebaliknya, sastrawan akan "merugi" jika melibatkan diri secara langsung ke dalam politik praktis, sebagaimana dipilih Pram. Meski produktif, sekian karyanya tidak bisa disosialisasikan secara leluasa dan bahkan diberangus di dalam negeri sehingga membuat satu generasi bangsanya tidak bisa membaca dan memberikan apresiasi. Aktivitas politik bagi sastrawan bisa menjadikannya kehilangan nilai universalisme, dan ini sangat merugikan bagi perkembangan kebudayaan dalam arti luas.

Ibarat tubuh, jika seorang sastrawan melibatkan diri secara langsung ke dalam politik praktis maka tubuhnya akan terbelah dan tidak utuh lagi dalam pandangan publik. Efek lanjutnya, publik pun akan terbelah, sebagian bisa mengapresiasi karyanya dengan obyektif, sebagian justru memberangusnya dengan semena-mena. Inilah yang dialami Pram dan karya-karyanya selama Orde Baru.

Sikap abai pemerintah kita terhadap Pram harus dianggap sebagai dosa sejarah yang harus segera ditebus. Dalam hal ini, jika Pram memang pernah berdosa, maka dosanya adalah dosa politik dan sudah ditebus dengan mendekam sekian lama sebagai tapol. Sebagai seorang sastrawan, Pram tak pernah berdosa, bahkan sangat banyak berjasa dengan melahirkan karya-karya sastra yang sangat memesona dan selayaknya diberi penghargaan tinggi oleh pemerintah atas nama bangsa dan negara.

Ketika Pram menjadi redaksi koran Harian Rakjat dan tokoh Lekra di masa Orde Lama yang gemar memberangus karya seniman non-Lekra, bisa disebut juga dosa politik karena posisinya itu lebih bersifat politis dibanding sebagai sastrawan. Sejumlah sastrawan dan seniman non-Lekra yang pernah menjadi korban pemberangusan oleh Pram telah memaafkannya.

Jika pemerintah memang ingin membangun kebudayaan yang bermartabat, selayaknya segera memberi penghargaan pada Pram. Bentuknya bisa mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.Pemerintah juga selayaknya membangun proyek penerbitan untuk menyosialisasikan karya-karya Pram agar bisa dibaca oleh semua anak sekolah kita.

Rasanya sangat ironis jika anak-anak sekolah di Malaysia begitu bersikap apresiatif terhadap karya-karya Pram karena pemerintah di sana cukup apresiatif terhadap karya sastra anak bangsa serumpun, tapi anak-anak sekolah di Indonesia justru tidak mengenal karya- karya Pram karena sulit menemukannya di perpustakaan-perpustakaan sekolah.

Jika pemerintah kita tetap abai terhadap prestasi Pram sebagai sastrawan kelas dunia, rasanya layak khawatir suatu ketika muncul cibiran bangsa lain dalam berbagai bentuk. Misalnya, Pram diakui sebagai sastrawan ASEAN terbesar dan terpenting dan karena itu di Malaysia dibangun museum atau perpustakaan dengan label Pram. Otonomi daerah

Sesuai semangat otonomi daerah, penghargaan pada Pram bisa saja diberikan Pemerintah Kabupaten Blora atau diberikan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah karena Pram lahir di Blora, Jateng. Ini tentu tidak berlebihan, mengingat Pram telah diakui dunia sebagai sastrawan besar dengan bukti hampir semua karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Jika Pemkab Blora atau Pemprov Jateng memberi penghargaan pada Pram, bentuknya harus bernilai edukatif dan monumental. Misalnya, mengabadikan nama Pram menjadi nama ruas jalan, museum, perpustakaan, dan universitas yang dibangun Pemkab Blora dan Pemprov Jateng.

Penghargaan pada sastrawan besar sekaliber Pram tentu bukan berlebihan jika dibandingkan dengan penghargaan pada atlet berprestasi. Jika di Tasikmalaya ada Gedung Olahraga Susi Susanti karena atlet bulu tangkis ini berprestasi meraih medali emas di Olimpiade, tentu di Blora atau di Jateng layak dibangun gedung atau taman budaya dengan nama Pram.

Jika penghargaan yang proporsional pada Pram bisa diberikan Pemerintah Indonesia, atau Pemkab Blora dan Pemprov Jateng, Pram tentu seakan-akan dapat lebih hidup abadi bersama karya-karyanya sehingga dapat menjadi teladan bagi generasi berikutnya.

Dan, Pram memang telah memberi teladan: bahwa untuk terus produktif dan kreatif demi bangsa dan negara tidak harus sebatas ketika hidup bebas tapi juga ketika sedang dibuang atau dipenjara; bahwa kebebasan fisik dan biologis bisa saja dirampas, tapi bukan kebebasan kreatif. Kini, setelah Pram wafat, saatnya bangsa dan negara Indonesia belajar menghargainya!

ANITA RETNO LESTARI Penggiat Komunitas Sastradipati, Jawa Tengah

16 Mei 2006, Kompas
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0605/16/jateng/35697.htm


Menghormati Pram, Bangsa dan Tanah Airnya

Eka Budianta
Seni & Budaya (Kompas, 07 Mei 2006)


Dua hal paling penting sepeninggal wafatnya Pramoedya Ananta Toer adalah warisannya untuk dunia dan perlakuan bangsa Indonesia terhadap warisan itu. Warisan Pram terbesar adalah rasa cinta mendalam dari berbagai bangsa kepada sebuah negeri bernama Indonesia. Sedangkan perlakuan yang paling diharapkan adalah bagaimana warisan itu dapat diterima dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.

Pramoedya lahir dari keluarga guru, di Blora (Jawa Tengah dekat perbatasan dengan Jawa Timur) pada 6 Februari 1925. Ia meninggal dunia sebagai seorang opa, ayah, suami, kakak, dan sahabat pada hari Minggu pagi, 30 April 2006 di Utan Kayu, Jakarta Timur. Dalam rentang hidupnya 81 tahun dua bulan tiga minggu dan tiga hari itu Pram membangun Indonesia-nya, pemahamannya pada sejarah dan kehidupan: dunianya!

Ia tidak wafat sebagai pensiunan, pegawai, apalagi pejabat. Ia mati sebagai manusia yang lemah, didera infeksi paru-paru dan komplikasi diabetes. Ia wafat setelah "mengabsen" dan mencoba merangkul orang-orang yang mencintainya satu persatu. "Sampaikan terima kasih pada semua," katanya. Pram adalah seorang pria yang hangat, penuh humor, simpatik, dan memuja anak-anak muda. "Mereka adalah mahkota bangsa," katanya pada setiap kesempatan.

Pram menghormati buruh dan tidak "mengecilkan" siapa pun. Rumahnya besar. Tapi, ia tidak "memelihara" pembantu rumah tangga. Semua dikerjakan sendiri, termasuk menyapu, mencangkul, dan membakar sampah. Simpatinya kepada para petani tembakau tidak pernah luntur sampai akhir hayatnya. Beberapa saat sebelum napasnya yang terakhir, ia minta rokok. Pram juga minta digosok minyak gandapura. Ia lebih suka dirawat di rumah secara alamiah ketimbang di rumah sakit. Kalau tidak dijaga ketat, saluran infus dan selang oksigen selalu dilepasnya.

Warisan terindah

Pada tahun 1987, seorang murid kelas V sekolah dasar di perdesaan kecil di Midwest bertanya, "Apakah di Indonesia masih banyak Inem?" Siapa Inem? Pembantu rumah tangga?
"Bukan. Inem, gadis berumur 11 tahun dalam cerpen Pramoedya, yang dikawinkan paksa, untuk meringankan beban ekonomi orangtuanya."

Ya, ampun! Sebegitu mendalam Pramoedya memperkenalkan bangsa dan tanah airnya ke segala penjuru dunia. Karya-karyanya (novel, cerita pendek, drama, dan esei) terbit di dalam 41 bahasa. Buku-bukunya masuk ke berbagai rumah, bahkan kamar tidur segala bangsa. Seorang perempuan di Inggris selatan menulis panjang lebar, sangat berterima kasih setelah membaca roman Bumi Manusia. Seorang wartawan di Jepang mengirimkan alat bantu pendengaran setelah tahu telinga Pram jadi tuli karena dipukul popor senjata.

Begitu banyak simpati mengalir untuk Pramoedya. Novelis tersohor Jean Paul Sartre dari Perancis mengirimkan mesin ketik untuknya. Pemenang Nobel dari Jerman, Heinrich Boel, memberi semangat dengan mengirim lukisan jago sedang bertarung. Presiden Cile menganugerahkan bintang Pablo Neruda. Dan seterusnya dan seterusnya. Semua menunjukkan bahwa ia sangat diperhatikan, dicintai, dan mencintai bumi yang melahirkannya.

Jadi, kalau ada yang bertanya apa warisan Pram terbesar? Cinta dunia pada Indonesia. Termasuk pada Pram sendiri, melalui berbagai hadiah, penghargaan, gelar doctor honoris causa, dan sambutan meriah pada karya-karyanya di mana-mana. Dalam kalender PEN Internasional, sejak tahun 1985 tercatat bahwa setiap 6 Februari adalah "Hari Pramoedya".

Pram sangat dipahami serta dicintai para pengarang besar dan kecil. Kalau ada beberapa pengarang dalam negeri yang tidak menyukainya, ia juga sangat mengerti. Dalam pidato tertulisnya ketika menerima hadiah Magsaysay dari Filipina, ia menyatakan, "Bahwa karya-karya dilarang beredar di tanah air saya sendiri atas permintaan beberapa pribadi dalam elite kekuasaan, bagi saya tidak jadi soal."

Sejauh saya mengenalnya (sejak 1983) Pramoedya Ananta Toer tidak pernah menunjukkan sikap antipati kepada seseorang. Ketika Taufiq Ismail dan DS Moeljanto (alm) menerbitkan kompilasi Prahara Budaya yang dinilai banyak orang sebagai upaya "menyudutkan Pramoedya", yang bersangkutan justru tak keberatan. "Tidak ada yang baru dalam buku itu. Isinya adalah kumpulan berita di koran," katanya.

Pram malah merasa kasihan kepada para pengarang yang menentangnya. "Apakah tidak semakin menjelaskan bahwa mereka begitu penakut?"

Mungkin ada yang masih merasa takut dan traumatis hingga sekarang bila mengenang sepak terjang Pramoedya antara 1959- 1965. Karena tulisannya yang sangat tajam, banyak orang menderita. Rumahnya dilempari, HB Jassin dipecat dari Universitas Indonesia, banyak yang merasa diteror, dan sebagainya. Prof Dr Boen S Oemarjati konon juga punya pengalaman pahit tersendiri. Namanya masuk dalam "daftar hitam".

Tetapi, kalau sekarang kita lihat rumah Inul Daratista dan kantor Ratna Sarumpaet didemo setelah mengadakan pawai Bhineka (22 April 2006), apa bedanya? Bukankah terorisme dan pelecehan merupakan dampak dari kebebasan dan perasaan benar yang berlebihan? Pramoedya dan teman-temannya pun menghadapi hal yang sama, bahkan lebih lama. Setelah balik dari Pulau Buru, ia dikenakan "wajib lapor", rumahnya diawasi, dan orang takut bertamu kepadanya.

Dan itu tidak menjadikan dia punya alasan untuk berhenti mempersembahkan karya terbaiknya buat dunia dan bangsa ini. Pram tetap rajin bangun pagi, membaca semua surat kabar, menggunting, mengkliping, membuat catatan, terus-menerus sepanjang hari, sampai surya pun terbenam. Belum pernah saya melihat sastrawan Indonesia lain yang lebih giat bekerja dari Pramoedya Ananta Toer.

Tidak mengherankan bila harian The New York Times, 1 Mei 2006, beberapa jam setelah novelis besar itu wafat, mencatat bahwa Pramoedya adalah sastrawan yang paling banyak berkorban untuk mendidik bangsanya. "No other author has been willing to sacrifice so much to educate his compatriots."

Perilaku kita selanjutnya

Masalah kedua adalah bagaimana Indonesia memperlakukan nama dan karya-karyanya di masa depan? Ada yang mengatakan akan mengganti Jalan Utan Kayu menjadi Jalan Pramoedya. Ada yang ingin meneruskan cita-citanya membangun Institut Pramoedya. Dan seterusnya, dan seterusnya. Sikap pemerintah pun sudah semestinya berubah. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik datang melayat. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga dikabarkan mengirim bunga.

Hal seperti itu dengan gembira dapat dimengerti. Ketika Mochtar Lubis wafat (2004), Jusuf Kalla juga ikut menunggui jenazah di Taman Ismail Marzuki, diantar Rachmat Witoelar. Kita patut gembira melihat perhatian pejabat, sekecil apa pun, kepada para budayawan, seniman, yang secara universal dianggap sebagai aset nasional. Ingat, Presiden BJ Habibie juga melayat novelis YB Mangunwijaya, yang disemayamkan di Katedral Jakarta (Februari 2000).

Tetapi, di antara Presiden Indonesia, hanya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) yang dekat dengan Pramoedya. Selama menjabat presiden, dua kali Gus Dur menjenguk Pram di rumahnya. Gus Dur (dan Pram) juga melayat ketika Wiratmo Soekito meninggal dunia. Padahal, kata orang, Wiratmo dan Pram adalah musuh besar. Selalu ada yang mendramatisasi bahwa pertentangan antara pendukung Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) seolah-olah lebih dahsyat dari perang saudara.

Setelah Pram wafat, Indonesia perlu memasuki paradigma baru. Pertarungan ideologis bahkan yang lebih seram clash of civilization (benturan peradaban) hendaknya disikapi dengan kepala dingin dan hati yang damai. Banyak yang mencatat bahwa kehidupan Pramoedya penuh ironi. Karya-karyanya diharamkan, tetapi sekaligus sangat disukai. Dia dicap ateis, tetapi juga dengan khusyuk didoakan. Jadi, menerima dan mengembangkan warisan Pramoedya berarti membiarkan jiwa ini menjadi lebih besar. Kita telah mendapat teladan, betapa seorang pengarang yang dianiaya ternyata juga disanjung karena menyumbangkan karya-karya terbaik kepada dunia.

Eka Budianta Sastrawan, inisiator Jababeka Multi Cultural Center di Cikarang, Jawa Barat


Peringatan 1000 Hari Wafat Pram

BLORA, JURNAL NASIONAL Komunitas Pasang Surut akan memperingati 1.000 hari wafat sastrawan Pramoedya Ananta Toer pada 1 - 7 Februari 2009 dengan menggelar berbagai agenda kebudayaan. Acara yang bertajuk "Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa" ini akan diadakan di Jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora.

Pameran poster, sketsa, foto, sampul buku Pram akan diadakan selama berlangsungnya acara (1-7/1). Pada Kamis (5/2) diadakan diskusi antara Komunitas Porong (Sidoarjo), Kulon Progo, Juwana, Rembang, Pati, Randublatung, dan Blora.

Jumat (6/1) acara diisi dengan pentas musik "Sahabat-sahabat Pram" oleh Marjinal (Jakarta), Dendang Kampungan (Yogya), Anak Seribu Pulau (Blora), Gagego, Lesbumi (Pati), juga Aditya (cucu Pram) yang membawakan "Anak Tumpah Darah" karya Pram dan "Lagu buat Pram" karya Erros Djarot.

Sabtu (7/1) akan diramaikan dengan pentas seni reog, Teater Sangkur Timur (Semarang), drama SMAN 1 Randublatung, performance Joko Pekik "Melukis 1000 Wajah Pram", karawitan anak "Sekar Arum", dan peluncuran buku Bersama Mas Pram karya Koesalah dan Soesilo Toer.

Pada malam harinya, akan ada obrolan seputar "Kisah dan Pemikiran Sastrawan Tierra Humana". Sebagai pembicara diskusi tersebut, Koesalah Soebagyo Toer, Taufiq Ismail, Ajip Rosidi, Jusuf Soewadji, Joko Pekik, Tristuti, dan Sindhunata. Hujatan pamungkas akan ditutup dengan pergelaran wayang oleh dalang Tristuti dengan lakon "Begawan Ciptaning". (Heri C Santoso, Jurnal Nasional, 30/1/2009)


80 Tahun Pramoedya Ananta Toer Berkarya: Menulis, Olahraga, dan Senyum

Oleh Muhidin M Dahlan


"Wah Muk, kau akan tumbuh jadi sekuntum bunga, bunga aneh. Setengah orang
akan mencintai dan setengahnya lagi akan membencimu."

--Saidah, Ibunda Pramoedya Ananta Toer.

HARI ini, Minggu 6 Februari 2005, genap Pramoedya Ananta Toer berusia 80
tahun. Pram pun sebetulnya tak menduga bahwa usianya bisa merentang
sepanjang ini. Sebab ia pernah memprediksi usianya tak lebih dari 30
tahun. Apalagi, salah satu hero dalam hidupnya, ibundanya, meninggal di
usia muda karena TBC.

Karena itu, berkejaran dengan ancaman mati-muda Pram berkarya
sekuat-kuat-kuatnya, sebisa-bisanya. Dan memang ia lolos dari usia itu dan
tumbuh menjadi sekuntum bunga yang aneh. Ibunya berpesan: "Ingat-ingat
selalu kata-kataku: jadi orang bebas, Muk, jadi tuan atas diri sendiri,
allround, bisa segala, tidak jadi budak orang lain, juga tidak
memperbudak.... Jangan sampai jadi beban orang lain. Juga jangan menerima
beban tanpa guna." (Lihat Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, LD (edisi revisi),
2005: 418)

Dan menulis adalah usaha Pram untuk mengamalkan nasihat itu, yakni menjadi
manusia bebas. Dengan menulis ia tak menghamba kepada orang lain dan juga
tak menindas sebab tak punya alat-alat kekuasaan dan sederetan serdadu.
Pilihan itu memang berisiko. Ia harus rela tak dapat kedudukan apa pun
dalam pemerintahan dan kemapanan ekonomi, kecuali kebebasan dan pengakuan.

Spirit itu kemudian menjadi air bah yang menghembalang saraf Pram untuk
menulis, menulis, dan menulis. Dan ia tak punya modal kejeniusan yang
patut dibanggakan. Barangkali satu-satunya yang ia punyai adalah kerja
keras dan keinginan untuk belajar.

Bayangkan, ia dua kali tinggal di kelas empat SD. Dan di kelas tujuh,
kelas terakhir Boedi Oetomo di Blora, ia tinggal lagi di kelas. Oleh
ayahnya yang juga kepala sekolah ia dikatai begini: "Anak goblok! Kalau
kau sedikit saja cerdik... kembali, ulangi di kelas tujuh." Saat itu Pram
menjadi "pendendam". Untuk melawan kutukan "anak goblok" itu ia bekerja
habis-habisan dengan sepenuh-penuh ketekunan menulis. Hal itu seperti
mengiyakan ucapan Umberto Eco (2003: 672) bahwa genius adalah satu persen
inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen perspirasi (peluh).

Tak sedikit yang mencemooh karyanya sebagai karya rongsokan, dikata-katai
sebagai karya pitjisan, dan sebagainya, oleh kalangan sastrawan di
selingkungannya (baca: Balai Pustaka). Tapi Pram seakan tak peduli dengan
semua itu. Sebab bagi Pram faktor pertama untuk bisa menulis (yang baik)
adalah menulis dan terus begitu.

Oleh ucapan Pram itu saya teringat wejangan novelis William Forester
kepada murid sekaligus sahabatnya yang masih duduk di SMU, Jamal Wallace,
dalam film Finding Forester. "Faktor pertama dalam menulis adalah menulis.
Banyak sekali orang tahu aturan menulis, tapi tak tahu caranya menulis.
Profesormu itu (Robert Cramford, profesor penulisan di kelas Jamal),
karena gagal bersaing denganku menjadi penulis dan novelnya ditolak oleh
penerbit, akhirnya banting setir mengajar bagaimana cara menulis. Lebih
mudah mengajar menulis dari menulis senyatanya. Jadi, problem menulis
adalah menulis itu sendiri."

Menjadi penulis berarti dituntut untuk berkarya. Menulis. Betapapun sangat
rendah mutu karya, Pram tak pernah mau berhenti dalam kutukan atas diri
sendiri. Sebab Pram sadar bahwa menulis, sampai pada titik "menulis yang
baik", membutuhkan proses yang tak sebentar. Dan itu tak mudah. Berliku
dan berdarah-darah. Terkadang banyak yang tak mau tahu dengan proses
panjang yang mendaki dan berliku ini. Disebabkan ketiadaan cadangan asa
yang memadai, akhirnya tak sedikit yang terjatuh di tengah kubangan jalan
yang menikung. Lalu berlari keluar dan menyingkir jauh-jauh dari jalan
kepenulisan.

Dari mana Pram mendapatkan ruh dan bahan menulis yang seperti tak ada
habis-habisnya itu? Sepengakuan Pram, selain meriset (baca: mengkliping
koran), bahan dasar dari setiap tulisannya berdasarkan ketajaman perasaan
menangkap pengalaman. Mengutip nasihat Prof Wertheim ketika bertemu di
Belanda, Pram mengatakan bahwa bagi seorang pengarang sebaik-baik
sekolahan adalah kehidupan, dan modalnya hanya berani bergaul, pergaulan
yang disadari, dipilih, dicoba, dan dinilai.

Menurutnya, tidak mesti orang belajar dengan membaca buku. Belajar bisa
dengan mengamati, memperhatikan, menghafal, mendengarkan. Tetapi banyak
belajar (ilmu pengetahuan) tidak menjamin orang menjadi kreatif. Bagi
Pram, orang yang cerdas dan kreatif adalah yang pandai menarik kesimpulan
dari ilmu dan pengetahuannya dan pengalamannya.

Maka hemat Pram penting untuk menilai pengalaman secara seksama dengan
ketajaman mata selidik. Sebab setiap pengalaman yang tidak dinilai, baik
oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang lain, akan tinggal menjadi sesobek
kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman
tak lain daripada fondasi kehidupan. Oleh sebab itu, tegas Pram,
belajarlah menilai pengalaman sendiri dan membentur-benturkannya dengan
lingkungan tempat di mana pengalaman itu tumbuh.

"Beras menjadi putih bukan hanya karena tertumbuk alu, tetapi karena
pergeseran dengan sesama beras karena tumbukan alu," kata Pram mengutip
ucapan salah satu srikandi pergerakan nasional awal abad 20, Siti
Soendari.

"Tugasku Hanya Menulis"

Ya, menulis bagi Pram adalah profesi adalah hidup dan menjadi tugas
nasionalnya. Menulis baginya sama sekali bukan ingin bersolek untuk
mendapatkan pengakuan puja-puji dari para kritikus. "Tugasku hanya
menulis. Kalau Penilaian apakah layak atau tidak, itu bukan urusan saya.
Itu urusan kritikus, urusan pengamat..."”

Pram memang tak hendak mencari-cari nama dalam usahanya yang
sungguh-sungguh di jalan kepenulisan walaupun ia sungguh sadar bahwa
menulis adalah usaha mengekalkan nama di ingatan publik.

“Aku sendiri tidak pernah mencari nama. Kalau aku kau anggap punya nama,
nama itu tidak lain dari pemberian masyarakat. Nama bukan dicari, dia
hanya imbalan. Kalau kau memberikan hasil kerjamu pada seseorang, dan
orang itu suka, engkau pun akan mendapat nama dari dia. Nama adalah produk
sosial. Juga dibutuhkan ausdauer untuk mempertahankan dan
mengembangkannya. Tentu kau mengerti maksudku: nama adalah bangunan atas
hasil karya. Orang tak perlu mencari-carinya.” (NSSB, 2005: 185)

Ya, karena Pram tak mengindahkan pujian dan "nama baik", maka ia dengan
bebas mengungkapkan apa pun yang dipikirkan dan dirasakannya tanpa harus
takut dicela atau kehilangan nama. Sebab di arasnya yang sejati seorang
penulis yang kreatif hampir selalu seorang individualis, berwawasan
mandiri, sulit untuk menyesuaikan diri dengan orang lain, keadaan lain,
apalagi bila keadaan itu sama sekali baru.

Maka sungguh mengherankan bila negara misalnya, takut akan keberadaan
pengarang yang sepi sendiri ini dan dianggap merongrong dan membahayakan.
"Saya memang makin bingung dengan Indonesia ini. Takut dengan pengarang
dan dipenjarakannya saya selama 14 tahun tanpa pengadilan. Padahal di
belakang saya selain sepi sunyi tak ada deretan tentara, persenjataan
canggih, atau pembunuh-pembunuh bayaran. Heran saya."

Menulis, Olahraga, dan Senyum

Siapa pun mengakui bahwa Pram adalah penulis yang tangguh dengan jam
terbang yang fantastik. Dan jujur kita katakan tak banyak sastrawan kita
bisa berkiprah selama ini, seproduktif ini, dan seberkibar ini. Telah
lebih dari 60 karya dihasilkannya berupa novel, roman, cerpen, esai,
terjemahan, maupun puisi (walau hanya tiga biji!). Mestinya, di usianya
yang ke-80 ini Pram sudah peyot dan pikun. Tapi ternyata tidak, ia masih
tampak bugar, bersemangat, dan senang bercanda. Apa rahasianya?

Olahraga dan senyum!

Untuk mempertahankan gairah menulis, Pram memang rajin berolahraga. Dalam
pandangan Pram, olahraga adalah salah satu syarat untuk pandai, maju.
Dengan berolahraga tubuh menjadi sehat karena peredaran darah lancar dan
baik. Dalam berolahraga semua bagian tubuh dilatih mendapatkan
keseimbangan. "Olahraga membikin tubuh jadi lentur, tidak kaku. Tubuh yang
kaku adalah sama dengan batang kayu yang telah lapuk, bila ditekuk dia
patah. Juga tidak ada guna kepandaian kalau orang itu tidak bisa
menggunakan karena kesehatan tidak mengizinkan," kata Pram.

Kalau senyum? Aha, Pram memandang senyum (yang dilatih) sebagai bagian
dari usaha mengendorkan otot dan merilekskan syaraf. Orang bisa saja
terlihat tidur, tetapi syaraf dan otot-ototnya kadang tidak ikut
istirahat. Tapi dengan latihan senyum, senyum yang rela, senyum tanpa
suatu pamrih, kata Pram, jiwa menjadi damai karena semua ketegangan
lenyap. Jiwa menjadi jernih. Dan olahraga membikin orang jadi optimis.
Jiwanya tidak digelapi oleh pesimisme.

Barangkali, buat Anda yang ingin usia menulisnya panjang dan terjaga,
resep Pram itu boleh dipertimbangkan. Selamat ulang tahun ke-80 ya, Kakek
Pram!


Muhidin M Dahlan, pengrajin wacana, tinggal di Yogyakarta.
[Media Indonesia, Minggu, 06 Februari 2005]


MyLangit Theme By ArpitNext
Copyright © 2008 Bloggerized by : GosuBlogger | Inspired By Langit : Eches